Tadlis
Ini artinya dalam kata dallasa–yudallisu–tadlîs[an] terkandung makna: tidak menjelaskan sesuatu, menutupinya dan penipuan. Ibn Manzhur di dalam Lisân al-‘Arab mengatakan bahwa dallasa di dalam jual-beli dan dalam hal apa saja adalah tidak menjelaskan aib (cacat)-nya. Menurut Muhammad Rawas Qal’ah Ji, tadlîs artinya al-khidâ’ wa al-ibhâm wa at-tamwiyah (penipuan, kecurangan, penyamaran, penutupan) (Muhammad Rawas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’, I/126).
Para fukaha mengartikan tadlîs di dalam jual-beli adalah menutupi aib barang (Al-Fairuz al-Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth; Muhammad bin Abi al-Fath al-Ba’li, al-Muthalli’ ‘ala Abwab al-Fiqhi bab khiyâr at-tadlîs; al-Jurjani, at-Ta’rifât; al-Jawhari, ash-Shihâh fî al-Lughah). Hanya saja, dari deskripsi nas yang ada,tadlis tidak selalu dalam bentuk ditutupinya atau tidak dijelaskannya aib/cacat barang. Tadlis juga terjadi ketika barang (baik barang yang dijual atau kompensasinya baik berupa uang atau barang lain) ternyata tidak sesuai dengan yang dideskripsikan atau yang ditampakkan, meski tidak ada cacat.
Tadlis hukumnya haram. Siapa saja yang melakukannya berdosa. Sebab, tadlis itu merupakan bagian dari penipuan dan Rasulullah saw. bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ غَسَّ
Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu (HR muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibn Majah).
Rasulullah saw. juga secara jelas menyatakannya dengan frasa lâ yahillu (tidak halal) dalam hadis yang mendeskripsikan tadlis. Dari situ jelas bahwa tadlis merupakan tatacara perolehan harta yang diharamkan. Siapa saja yang memperoleh harta melalui tadlis, maka harta itu haram baginya dan secarasyar’i ia tidak memiliki harta itu, meski ia kuasai. Allah akan mencabut berkah dari harta hasil tadlis itu.
Rasulullah saw bersabda:
اَلْبَيْعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقًا فَإِنَّ تَفَرَّقًا وَبَيْنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِيْ بَيْعَهُمَا وَاِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مَحَقَتْ رَكَةَ بَيْعِهَا
Penjual dan pembeli memiliki khiyar selama belum berpisah. Jika keduanya berpisah dan berlaku transparan (menjelaskan barang dan harga apa adanya) maka diberikan berkah dalam jual-beli keduanya. Jika keduanya saling menyembunyikan (cacat) dan berdusta maka itu menghanguskan berkah jual-belinya (HR al-Bukhari, muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan al-Baihaqi).
Tadlis yang menetapkan khiyar ada dua bentuk. Pertama: tadlis yang meningkatkan harga meski tidak ada aib, seperti memerahi wajah hamba sahaya perempuan, menghitam-kan rambutnya dan semacamnya, juga seperti membiarkan susu tetap di kambingnya, tidak diperah. Kedua: menutupi aib (Lihat: Muhammad bin Abi al-Fath al-Ba’li di dalam Al-Muthalli’ ‘ala Abwab al-Fiqhi bab khiyâr at-tadlîs).
Bentuk pertama dalilnya adalah hadis penuturan Abu Hurairah bahwa Nabi saw. telah bersabda:
لاَ تُصَرُّوْا اْلإِبِلَ وَالْغَنَمَ فَمَنْ اِبْتَاعَهَا بَعْدُ فَإْنَّهُ بِخَيْرٍ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ اَنْ يَحْتَلِبَهَا اِنْ شَاءَ أَمْسَكَهَا وَاِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعًا مِنَ التَّمْرِ
Janganlah kalian membiarkan unta dan domba tidak diperah (sebelum dijual). Siapa saja yang membelinya, ia boleh memilih di antara dua hal setelah ia memerahnya: jika ia ingin, ia boleh mempertahankannya; jika ia ingin, ia boleh mengembalikannya dan satu sha’ kurma (HR al-Bukhari,muslim, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Satu sha’ kurma itu adalah kompensasi atas susu yang sudah terlanjur diperah. Hewan yang tidak diperah susunya sehingga ambingnya tampak besar atau supaya diduga menghasilkan banyak susu disebut muhaffalah.
Dalam hal jual-beli muhaffalah ini, Rasul bersabda:
بَيْعُ الْمُحَفَّلاَتِ خِلاَبَةٌ وَلاَ تَحِلُّ الْخِلاَبَةُ لِمُسْلِمٍ
Jual-beli muhaffalah adalah khilâbah (penipuan) dan penipuan itu tidak halal bagi seorang muslim (HR Ibn Majah)
Hadis ini menjelaskan bahwa praktik seperti muhaffalah itu merupakan bentuk penipuan, dan itu haram bagi seorang muslim. Sabda Nabi saw. lâ yahillu (tidak halal) jelas menunjukkan keharamannya.
Dalam tadlis bentuk ini, tidak ada aib/cacat dalam barang. Dalam tadlis bentuk ini yang ada adalah dilakukan treatmen/perlakuan terhadap barang yang bisa mengaburkan/mengelabui pembeli sehingga menduga atau menganggap barang tersebut memiliki kualitas, fungsi, spesifikasi atau lainnya, lebih dari yang sebenarnya. Tujuannya tentu saja agar harga barang itu lebih tinggi.
Contoh lain tadlis bentuk ini untuk saat sekarang: merekondisi barang sehingga tampak seolah-olah baru atau belum lama dipakai, mematikan speedometer dan baru dihidupkan lagi saat mau dijual, mengecat ulang bodi mobil, mengganti casing HP dengan casing baru, dsb. Semua itu akan bisa membuat pembeli mengganggap kondisi barang lebih dari yang sebenarnya.
Tadlis bentuk kedua, yaitu menutupi aib/cacat barang. Dalilnya adalah:
اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيْهِ بَيْعًا إِلاَّ بَيَّنَهُ لَهُ
Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Tidak halal seorang muslim menjual sesuatu kepada saudaranya kecuali ia menjelaskan jualannya itu kepada saudaranya itu (HR Ibn Majah, Ahmad, al-Baihaqi dan al-Hakim).
Hadis ini dengan jelas menyatakan bahwa seseorang yang menjual barang cacat, tidak halal baginya kecuali ia menjelaskan cacat yang ada itu. Ini sekaligus menjelaskan bahwa menjual tanpa menjelaskan cacat itu merupakan tatacara memperoleh harta secara haram sehingga harta yang diperoleh statusnya haram.
Untuk menghindari dua bentuk tadlis itu maka kita harus berlaku transparan menjelaskan kondisi barang apa adanya. Jika ada cacat atau kekurangan maka itu harus dijelaskan. Jika telah dilakukan perubahan terhadap barang atau dilakukan treatment seperti dalam kasus muhaffalah, maka itu pun harus dijelaskan. Dengan itu maka semua tadlis itu bisa dihindari dan harta yang diperoleh pun statusnya halal dan akan diberkahi.
Tadlis dalam jual-beli ini bisa terjadi baik oleh penjual maupun pembeli. Penjual dalam hal barang yang dia jual, sedangkan pembeli dalam hal harga yang ia bayarkan baik berupa uang atau barang.
Jika terjadi tadlis maka orang yang tertipu (al-mudallas) memiliki khiyar. Ia boleh tetap melanjutkannya dan mempertahankan barang itu, yang artinya ia ridha dengan barang itu. Ia juga boleh mem-fasakh(membatalkan) akad jual-beli itu, yakni ia kembalikan barang tersebut dan meminta kembali secara penuh harga yang telah ia bayarkan. Tidak ada opsi ketiga selain dua opsi itu. Hal itu sesuai dengan hadis Abu Hurairah di atas, yakni bahwa Nabi saw. hanya memberikan dua opsi: in syâa amsakahâ wa in syâa raddahâ (jika ia mau ia boleh mempertahankannya, jika ia mau ia boleh mengembalikannya).
Jadi, orang yang ditipu itu (al-mudallas) tidak boleh tetap mempertahankan barang yang ada cacatnya itu dan meminta/mengambil selisih antara harga barang cacat itu dengan harga barang yang tidak ada cacat. Semua itu jika barang masih bisa dikembalikan.
Kadang, barang cacat itu tidak mungkin dikembalikan, misalnya mobil sudah bertabrakan atau bahan baku sudah terlanjur diproses. Padahal pembeli tidak rela dengannya karena cacat atau kurang, tetapi harganya sudah dibayar. Jika tidak rela, secara syar’i pembeli itu memiliki khiyar untuk mengembalikan barang, tetapi hal itu tidak mungkin karena kondisi yang terjadi. Untuk menghilangkan dharar dari pembeli itu maka ia bisa merujuk kepada penjual agar membayar nilai cacat tersebut (Ziyad Ghazal,Masyrû’ al-Qanûn al-Buyû’ fî ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 51, Dar al-Wadhah li an-Nasyr wa at-Tawzi’, Amman Yordania. 2010).
Hak khiyar itu ditetapkan ada bagi pihak yang tertipu (al-mudallas), semata karena adanya tadlis atau cacat, baik penjual mengetahui adanya cacat itu ataupun tidak pada saat transaksi. Jika ia tahu dan tidak menjelaskan maka ia berdosa. Jika ia tidak tahu maka ia tidak berdosa. Dalam dua kondisi itu, hak khiyartetap ada bagi pihak yang tertipu (al-mudallas).
Aib yang menjadikan adanya hak khiyar itu adalah cacat yang dalam tradisi para pedagang akan mengurangi nilai barang. Bisa juga dalam bentuk kurangnya zat/fisik barang itu yang pada galibnya pada barang yang serupa kekurangan itu secara signifikan akan mengurangi nilai, harga, fungsi atau kegunaannya.
Khiyar itu ada jika orang yang tertipu (al-mudallas) tidak mengetahui cacat tersebut pada saat akad jual-beli dan baru ia ketahui setelah barang ada di tangannya. Jika ia sudah tahu sebelumnya dan tetap rela melangsungkan transaksi, maka itu artinya ia sepakat harga yang ia bayar adalah harga untuk barang yang ada cacatnya itu. WalLâhu a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]