Yang jadi pertanyaan kenapa bisa muncul orang-orang semacam penista Quran ? Jawabannya karena Sistem yang rusak. Dengan sistem yang rusak hasilkan orang-orang yang rusak.
Memunculkan peluang pemimpin yang bukan dilihat dari ketaatan dan ketakwaan, tapi dari seberapa banyak dukungan modal dibaliknya.
Penguasa yang dibantu kemenangannya dengan modal yang sangat besar oleh pemodal pastinya akan membalas jasa pada pemodal tersebut. Dan sejak awal pastinya bantuan para pemodal tentu ada maksud tertentu. Akibatnya, penguasa didikte oleh pemodal. Walhasil, sistem demokrasi kemudian melahirkan Negara yang dikontrol oleh korporasi, yang ciri utamanya adalah: lebih melayani kepentingan pemodal daripada rakyat.
Negara korporasi tak ubahnya perusahaan yang hanya memikirkan keuntungan. Rakyat pun hanya diposisikan layaknya konsumen dan negara sebagai penjual. Dalam negara korporasi, subsidi terhadap rakyat, yang sebenarnya merupakan hak rakyat, dianggap pemborosan. Aset-aset negara yang sejatinya milik rakyat pun dijual. Itulah negara korporasi, yang tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi.
Negara korporasi telah merubah demokrasi menjadi Dari Korporasi, Oleh Korporasi dan Untuk Korporasi.
Rakyat hanya memiliki otoritas langsung saat pemilu untuk memilih penguasa dan wakilnya di Dewan Legislatif. Itupun otoritas yang telah dibatasi dan diarahkan oleh partai dan pemodal/kapitalis melalui proses politik yang ada, sebab rakyat hanya miliki otoritas memilih orang yang sudah disaring oleh parpol dan atau proses politik. Setelah pemilu, kedaulatan riil tidak lagi di tangan rakyat, tetapi di tangan pemerintah/penguasa dan anggota legislatif, dan di belakang keduanya adalah para pemodal/kapitalis. Pasca pemilu, kepentingan elit lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat. Wakil rakyat tidak mewakili rakyat akan tetapi mewakili diri sendiri dan golongannya (partai) dan para kapitalis.
Seharusnya kedaulatan di tangan syariat dalam menetapkan perundang-undangan yang berpijak pada benar dan salah hakiki dari Al Khaliq, tanpa berkompromi dengan kepentingan apapun.
Bayangkan untuk pornografi dan miras yang jelas keharamannya saja masih bisa dilegalkan dinegeri ini. Inilah rusaknya demokrasi.
Maka, seharusnya sebagai muslim, kita tak memerlukan demokrasi karena aturan Allah telah ada sejak dahulu kala yang telah Allah turunkan untuk mengatur kehidupan umat manusia seluruhnya, bukan hanya muslim.
Islam adalah agama syâmil (menyeluruh) dan kamil (sempurna) yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Syariah Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah ritual, moralitas (akhlak), ataupun persoalan-persoalan individual. Syariah Islam juga mengatur mu’âmalah seperti politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, dsb. Islam pun mengatur masalah ‘uqûbah (sanksi) maupun bayyinah (pembuktian) dalam pengadilan Islam. Bukti dari semua ini bisa kita lihat dalam kitab-kitab fikih para ulama terkemuka yang membahas perbagai persoalan mulai dari thaharah (bersuci) hingga Imamah/Khilafah (kepemimpinan politik Islam).
Dalam al-Quran, Allah SWT, bukan hanya mewajibkan shaum Ramadhan, kutiba ‘alaykum ash-shiyâm (QS al-Baqarah [2]: 183), tetapi juga mewajibkan hukum qishâsh dalam perkara pembunuhan, kutiba ‘alaykum al-qishâsh (QS al-Baqarah [2]: 78).
Di dalam QS al-Baqarah [2]: 216 Allah SWT pun mewajibkan perang (jihad) dengan firman-Nya: kutiba ‘alaykum al-qitâl.
Al-Quran juga tak hanya membahas shalat, aqim ash-shalah (QS al-Baqarah [2]: 43), tetapi juga bicara ekonomi saat menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba (QS al-Baqarah [2]: 275], juga mewajibkan pendistribusian harta secara adil di tengah masyarakat (QS al-Hasyr [59]: 7).
Ibnu Taymiyah menegaskan, “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.” (Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatawa, XXVIII/
Saat syariat ditegakkan saat itulah Islam Rahmatan lilalamin kan terwujud.
Pertanyaannya...
"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS.al-Maidah [5]: 50)