Pagi ini mengisi seminar di auditorium Kahar Mudzakir - UII. Diawali saya menyampaikan materi lalu dilanjut dua pemateri berikutnya ( Mas Triyono Tama dan Mas Wahyu Liz Adaideaja) kemudian diakhiri tanya jawab.
Karena keterbatasan waktu per pemateri hanya 20 menit alhasil saya sampaikan dengan sedikit terburu-buru.
Ketika sesi tanya jawab seorang peserta bertanya bagaimana bila waktu sholat tiba lalu adzan berkumandang, kebijakan diperusahaan Simply Group bagaimana?
Sebelum menjawab terlebih dahulu saya jelaskan bahwa kami di Manajemen Simply Group menerapkan prinsip Spiritual Company atau lebih tepatnya Syariat Spiritual Company. Suatu istilah yang saya buat sendiri, yang prinsipnya adalah menerapkan kebijakan-kebijakan diperusahaan sesuai landasan syariat Islam.
Seperti pada akad perjanjian, kegiatan marketing, VMC, standar interaksi pergaulan ,dan sebagainya. Dengan dasar syariat kami juga terapkan prinsip spiritual company yaitu membiasakan shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki, pengajian rutin, tadarus, dan sebagainya.Bahkan kami terapkan ada pengisian buku amaliyah harian, berupa buku saku kecil berisi kegiatan ibadah wajib dan sunnah yang dijalankan karyawan, serta juga diperhitungkan sebagai bagian penilaian KPI (Key Performance Indicator) karyawan.
Harapannya dengan demikian terbentuk pribadi yang bukan hanya hebat dalam kerjaan tapi juga dalam amalan ibadah serta perilaku yang Islami. Sehingga seimbang antara untuk kehidupan dunia dan bekal akhirat.
Seperti kita tahu bahwa masyarakat sekarang banyak terjangkit penyakit sekulerisme (pemisahan agama dengan kehidupan) sehingga menghasilkan manusia berkepribadian ganda, ketika dikantor berusaha menerapkan nilai-nilai kemuliaan sesuai budaya perusahaan namun diluar kantor berubah perilakunya 180 derajat.
Ada suatu pengalaman menarik saat perekrutan karyawan seperti biasa HRD jelaskan prinsip "spiritual company" ini yang artinya ibadah pun dinilai. Sontak salah seorang pelamar ketika diminta pendapatnya sampaikan tidak cocok dengn prinsip ini karena ibadah kok dinilai-nilai.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.’.” (HR. Muslim)
Hadits ini mencakup tingkatan-tingkatan mengingkari kemungkaran. Hadits ini juga menunjukkan bahwasanya barang siapa yang mampu untuk merubahnya dengan tangan maka dia wajib menempuh cara itu. Hal ini dilakukan oleh penguasa dan para petugas yang mewakilinya dalam suatu kepemimpinan yang bersifat umum. Atau bisa juga hal itu dikerjakan oleh seorang kepala rumah tangga pada keluarganya sendiri dalam kepemimpinan yang bersifat lebih khusus. Yang dimaksud dengan ‘melihat kemungkaran’ di sini bisa dimaknai ‘melihat dengan mata dan yang serupa dengannya’ atau melihat dalam artian mengetahui informasinya. Apabila seseorang bukan tergolong orang yang berhak merubah dengan tangan maka kewajiban untuk melarang yang mungkar itu beralih dengan menggunakan lisan yang memang mampu dilakukannya. Dan kalau pun untuk itu pun dia tidak sanggup maka dia tetap berkewajiban untuk merubahnya dengan hati, itulah selemah-lemah iman. Merubah kemungkaran dengan hati adalah dengan membenci kemungkaran itu dan munculnya pengaruh terhadap hatinya karenanya.
Artinya ketika anda memiliki kuasa untuk merubah kemungkaran (misal tidak mau sholat) seharusnya anda berusaha merubah itu dengan tangan (kebijakan) anda.
Salam Sukses Berkah Berlimpah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar