PENUKARAN UANG TAK SENILAI bolehkah menurut islam?
Menjelang Idul Fitri biasanya banyak orang menukar uang besar dengan uang receh di pinggir jalan, tapi dengan nilai yang tidak sama. fakta di atas termasuk riba yang haram hukumnya. yang berdosa bukan hanya penjual receh, melainkan termasuk juga yang menukarkan. Apabila ingin penukaran uang sejenis wajib memenuhi dua syarat. Pertama, harus ada kesamaan dalam kuantitas atau kadar.
Kedua, harus ada serah terima (at-taqabudh) di majelis akad, yakni harus kontan, tidak boleh ada penundaan pada salah satu dari apa yang dipertukarkan.
Dua syarat di atas dalilnya antara lain hadis yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri ra. , bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama dengan sama (sama beratnya/takarannya) dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka barangsiapa menambah atau minta tambah, maka dia telah berbuat riba, yang mengambil dan yang memberi dalam jual beli ini sama saja (dosanya).” (HR. Muslim, no 1584).
Diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).” (HR. Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248)
Dari hadis Abu Said al-Khudri (hadis pertama), dapat dipahami jika barang yang ditukarkan masih satu jenis (misal emas dengan emas), syaratnya ada dua : Pertama, harus ada kesamaan (at-tasawi) dalam hal beratnya (al-wazan) atau takarannya (al-kail). Hal ini didasarkan pada bunyi hadis “mitslan bi mitslin”, yakni dalam penukaran barang-barang ribawi (al-ashnaf al-ribawiyah) tersebut harus dilakukan dalam jumlah atau ukuran yang sama. Jadi, diharamkan adanya tambahan atau kelebihan (at-tafadhul).
Kedua, harus ada serah terima (taqabudh) di majelis akad, yakni dilakukan secara kontan. Hal ini didasarkan pada bunyi hadis “yadan bi yadin” (dari tangan ke tangan), yakni dalam penukaran barang-barang ribawi (al-ashnaf al-ribawiyah) harus dilakukan secara kontan. Jadi, diharamkan jika terjadi penundaan (al-ta`jil).
Dari hadis Ubadah bin Shamit (hadis kedua) dapat dipahami bahwa jika barang yang ditukarkan tidak satu jenis (misal emas dengan perak), maka boleh ada kelebihan atau tambahan, dan syaratnya hanya satu saja, yaitu harus dilakukan secara kontan. Ini ditunjukkan oleh lafazh hadis “idza kaana yadan biyadin” (jika hal itu dilakukan secara kontan). (‘Ayid Fadhl al-Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hal. 30).
Dalil-dalil di atas berlaku pula untuk penukaran mata uang (al-sharf), sebagaimana berlaku pada emas dan perak seperti terdapat dalam teks hadis. Ini bukan karena Qiyas, melainkan karena sifat yang ada pada emas dan perak, yaitu sebagai mata uang, juga terdapat pada uang (al-nuqud). (Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal. 264)
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya menukar uang seratus ribuan (Rp 100.000) dengan uang receh ribuan (Rp 1000) milik penjual receh sebanyak 95 lembar. Sebab nilainya tidak sama. Dalam hal ini si penjual uang receh telah mendapat kelebihan Rp 5000, yang tak diragukan lagi adalah riba yang haram hukumnya.
Demikian pula haram hukumnya menukar satu lembar uang seratus ribuan (Rp 100.000) ditambah selembar uang lima ribuan (Rp 5000) (total nilainya Rp 105.000) dengan uang receh ribuan (Rp 1000) milik penjual receh sebanyak 100 lembar (Rp 100.000). Sebab nilainya tidaklah sama. Dalam hal ini si penjual uang receh juga mendapat kelebihan Rp 5000, yang jelas merupakan riba yang haram hukumnya.
Namun yang berdosa bukan hanya penjual receh, melainkan termasuk juga yang menukarkan. Karena menurut hadis, baik pemberi maupun penerima sama-sama telah melakukan transaksi riba. Perhatikanlah sabda Nabi saw. :
فمن زاد أو استزاد فقد أربى، الآخذ والمعطي فيه سواء
“Barangsiapa menambah (yaitu dari pihak pemberi/pembeli) atau minta tambah (yaitu dari pihak penerima/penjual), maka ia telah melakukan riba, yang mengambil dan yang memberi dalam jual beli ini sama saja (dosanya).” (HR. Muslim, no 1584).
Ingatlah bahwa riba adalah dosa besar. Na`uzhu billah mindzalik. Sabda Nabi saw. :
Dari Abdullah bin Hanzhalah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
درهم ربا يأكله الرجل وهو يعلم أشدُّ من ستٍّ وثلاثين زنية
“Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang, padahal dia tahu, lebih besar dosanya dari 36 kali berzina.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad, V/225. Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata,”Sanad hadis ini shahih menurut syarat Syaikhaini (Bukhari dan Muslim)”. Lihat Silsilah Al-Ahadits al-Shahihah, II/29).
Maka dari itu, sudah seharusnya kita semua menghindarkan diri dari semua jenis riba, termasuk riba dalam penukaran uang receh yang tidak senilai ini.
Sudah saatnya umat Islam menghapuskan riba yang berlumuran dosa ini dalam segala bentuknya. Sebab jika tidak, Allah SWT melalui Nabi-Nya telah memperingatkan dengan keras, bahwa suatu negeri yang bergelimang riba akan mendapat azab Allah. Sabda Rasulullah saw. :
إذا ظهر الزنا والربا في قرية فقد أحلّوا بأنفسهم عذاب الله
“Jika telah merajalela zina dan riba di suatu negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka untuk menerima azab Allah.” (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, II/37. Dinilai shahih oleh Imam al-Hakim, dan penilaian ini disetujui oleh Imam Dzahabi).
Sampai kapankah kita terus menerus menderita karena diazab oleh Allah, baik itu dalam bentuk kemiskinan, kelaparan, kehinaan, gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus, maupun azab-azab Allah lainnya? Wallahu a’lam.
“Barangsiapa mengajak kepada petunjuk, niscaya ia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)