Jual beli saham bolehkah menurut islam?
saham didefinisikan sebagai, “surat berharga yang merupakan tanda penyertaan modal pada perusahaan berbentuk perseroan terbatas/PT.
Jual beli saham terbagi menjadi dua pandangan. Yg pertama menurut sebagian ahli fikih kontemporer bahwa tidak boleh memperdagangkan saham di pasar modal dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang haram. Namun, jika saham yang diperdagangkan di pasar modal itu adalah dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang halal maka boleh. Lalu Pendapat fukaha/ahli fikih Yg kedua bahwa tetap mengharamkan jual-beli saham walau dari perusahaan yang bidang usahanya halal. Yang disoroti adalah bentuk badan usaha perseroan terbatas/PT yang sesungguhnya tidak islami. PT(syirkah musâhamah) adalah bentuk syirkah yang batil (tidak sah) karena bertentangan dengan hukum-hukum syirkah dalam Islam.yaitu tidak ada ijab qabul antara pihak pemodal dan pengelola, Yang ada hanyalah persekutuan para pemodal saja (syarikul-mal). Pengelolaan justru diserahkan menggaji pihak lain yang tidak terlibat dalam akad perseroan, yaitu pihak dewan direksi sebagai bawahan.Nah.. Saya sendiri mengambil pendapat yang kedua ini.
Jadi, sebelum melihat bidang usaha perusahaannya, seharusnya yang dilihat lebih dulu adalah bentuk badan usahanya, apakah ia memenuhi syarat sebagai perusahaan islami (syirkah islâmiyah) atau tidak.
Aspek inilah yang tampaknya betul-betul diabaikan oleh sebagian besar ahli fikih dan pakar ekonomi Islam saat ini. Terbukti, ahli fiqih pertama tidak menyinggung sama sekali aspek krusial ini. Perhatiannya lebih banyak terfokus pada identifikasi bidang usaha (halal/haram), dan berbagai mekanisme transaksi yang ada, seperti transaksi spot (kontan di tempat), transaksi option, transaksi trading on margin, dan sebagainya (Junaedi, 1990; Zuhdi, 1993; Hasan, 1996; az-Zuhaili, 1996; al-Mushlih & ash-Shawi, 2004; Syahatah & Fayyadh, 2004)
Dalam akad PT tidak ada pihak yang bertindak sebagai pengelola yang akan melakukan usaha. Yang ada hanyalah persekutuan para pemodal saja (syarikul-mal). Pengelolaan perusahaan justru diserahkan pada pihak lain yang tidak terlibat dalam akad perseroan, yaitu pihak dewan direksi.
Dengan demikian, di dalam PT ini strukturnya menjadi dua tingkatan, yaitu pihak dewan komisaris (representasi dari para pemodal) sebagai atasan dan dewan direksi (representasi dari pengelola) sebagai bawahan. Aqad kedua belah pihak ini adalah akad ijarotul-ajir (akad sewa tenaga), bukan akad perseroan (syirkah).
Untuk pemahaman yang lebih mendalam, kita juga dapat melihat bahwa akad pembentukan PT ini sesungguhnya tidak sesuai dengan definisi syirkah secara syar’i, yaitu:
وَالشِّرْكَةُ شَرْعاً هِيَ عَقْدٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ فَأكْثَرَ يَتَّفِقَانِ فِيْهِ عَلَى القِيَامِ بِعَمَلٍ مَالِيٍّ بِقَصْدِ الرِّبْحِ
"Syirkah menurut makna syariah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan”.
Menurut definisi syirkah di atas, di dalam perseroan Islam, di antara para pesyirkah harus ada pihak yang menjalankan usaha atau bisnis secara langsung, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Perseroan Islam tidak boleh hanya kumpulan pemodal saja, kemudian membuat badan hukum perseroan, selanjutnya yang menjalankan bisnisnya justru adalah pihak lain yang digaji untuk menjalankan perusahaannya, sebagaimana yang terjadi pada Perseroan Terbatas.
qaidah syara’ yang menyebutkan:
إذَا سَقَطَ الْأصْلُ سَقَطَ الْفَرْعُ
“Jika gugur persoalan pokok, gugur pula persoalan cabangnya”.
Jika aqad pembentukan PT itu tidak sah alias bathil, karena tidak terwujudnya ijab qobul yang sah, maka Konsekuensi lanjutannya adalah: segala bentuk saham yang diterbitkan oleh PT juga bathil. Oleh karena itu, memperjualbelikan saham yang diterbitkan PT hukumnya juga tidak sah (bathil).
Apalagi sandaran pihak pertama yang membolehkan bisnis saham—asalkan bidang usaha perusahaannya halal—adalah al-Mashâlih al-Mursalah, sebagaimana analisis Yusuf As-Sabatin (Ibid., hlm. 53). Padahal menurut Taqiyuddin an-Nabhani, al-Mashâlih al-Mursalah adalah sumber hukum yang lemah, karena ke-hujjah-annya tidak dilandaskan pada dalil yang qath‘i (Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, III/437).
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Diambil sari materi giru kami KH M. Shiddiq al-Jawi dan Ust Dwi Condro Triono.Ph.D]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar