Prioritas Amal
Dalam keseharian sering kita berada dalam kondisi benturan kondisi, bingung mana yang hendak didahulukan.
Ust Dwi Condro dalam Kajian Fiqih Aulawiyah katakan Untuk menentukan prioritas dalam beramal, kita tidak boleh hanya mengandalkan logika.
Tidak boleh hanya mengandalkan pertimbangan manfa’at dan mudharat.
Tidak boleh hanya mengandalkan kesesuaian dengan hawa nafsunya.
Bila terjadi “benturan” dalam beramal, bagaimana membuat skala prioritasnya?
1.Bila mubah bertemu sunnah, maka yang sunnah harus didahulukan. Misal dahulukan sholat dhuha (sunnah) daripada aktivitas nonton film.
2.Bila sunnah bertemu wajib, maka yang wajib harus didahulukan. Misal dahulukan membayar utang (wajib) daripada sedekah (sunnah).
3.Bila wajib bertemu wajib, mana yang harus didahulukan? Fardlu ‘ain harus didahulukan dari fardlu kifayah.Namun harus diingat, fardlu kifayah bisa juga menjadi fardlu ‘ain, apabila pelaksanaannya belum sempurna.
Kesimpulannya urutan Prioritas amal:
1. Amalan wajib yang bersifat dharuriyat (Jika tidak terwujud, maka kehidupan manusia akan
hancur atau musnah)
2. Amalan wajib yang bersifat dharuriyat di bawahnya.
3. Amalan wajib yang bersifat hajiyat (Jika tidak terwujud, maka kehidupan manusia hanya akan mengalami kesukaran.)
4. Amalan wajib yang bersifat tahsiniyat (Jika tidak terwujud, maka kehidupan manusia hanya akan kurang sempurna , tidak harmonis, kurang indah.)
5. Amalan wajib kifayah.
6. Amalan yang sunnah.
7. Amalan yang mubah.
Skala prioritas perkara dharuriyat :
1. Hifdzud-din. Menjaga agama.
2. Hifdzun-nafs. Menjaga jiwa.
3. Hifdzun-nasl. Menjaga keturunan.
4. Hifdzul-karamah. Menjaga kehormatan.
5. Hifdzul-aql. Menjaga akal.
6. Hifdzul-mal. Menjaga harta.
Contoh :
1.Memberi nafkah untuk kebutuhan makan adalah perkara dharuriyat. Kebolehan berhutang untuk nafkah adalah perkara hajiyat. Membayar hutang tepat waktu adalah perkara tahsiniyat. Jika uang terbatas, maka memberi nafkah harus didahulukan dari membayar hutang
2. Makan untuk menjaga jiwa adalah perkara dharuriyat. Kewajiban mencari nafkah dengan berburu adalah perkara hajiyat. Kewajiban makan daging yang halal adalah perkara tahsiniyat. Jika di hutan tidak ditemukan binatang buruan kecuali babi, maka makan daging babi untuk menjaga jiwa harus didahulukan.